Kamis, 25 April 2019

LINGKARAN BUDI



Menjalani layaknya kehidupan normal manusia tergolong makhluk sosial yang selalu ketergantungan dengan manusia lainnya. Mulai dari memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan sampai tersier. Dibalik semua itu setiap orang pasti pernah menerima bantuan dan pertolongan baik sengaja atau tidak sengaja oleh orang lain. Bahkan yang memberi atau diberi pertolongan tersebut ada yang dikenal ataupun belum kenal sama sekali. Terbesit dalam hati bagaimana untuk membalasnya dan belum tentu kita mampu memberikan pertolongan yang sama atau lebih. 

Jika anda memberikan bantuan atau pertolongan kecil atau besar pada orang lain, hindari mengharapkan agar suatu saat orang tersebut memberikan bantuan atau pertolongan terhadap anda. Lebih baik rasakan syukur bahwa anda telah mampu memberikan bantuan sehingga memudahkan orang tersebut.

Perlu dicatat bahwa ketika anda menjalani kehidupan dan tanpa disadari seiring berjalannya waktu, anda akan mendapat pertolongan dari orang lain dan percaya bahwa itu dari hasil pertolongan yang pernah anda lakukan. Namun hal ini berbeda yaitu orang yang memberikan pertolongan tersebut tidak sama. Layaknya sebuah lingkaran banyak hal datang dari segala penjuru. Ketika sadar akan hal ini, tidak ada lagi rasa menunggu bantuan kembali dari orang yang pernah anda bantu. Kalau awalnya tidak kenal menjadi kenal dan komunikasi baik bearti lewat bantuanlah anda mendapat teman baru.

Karena mengharapkan balas budi tersebut keliru, apa lagi setelah anda pernah membatunya kemudian merasa tidak dibantu lagi malahan memusuhinya atau kapok membantunya. 

Kumpulan-kumpulan pahala baik yang anda lakukan suatu saat pasti anda peroleh kembali bahkan dalam bentuk yang berbeda, mengetahui hal itu anda perlu syukur dan merenungkan sesekali setiap perjalan hidup anda. Jika orang yang pernah anda bantu kemudian suatu saat ketemu disuatu tempat tidak menyapa, anda tidak boleh lagi mempermasalahkan yang sudah lewat terkait bantuan yang pernah anda berikan. Pertanyaannya kenapa tidak anda yang menyapa duluan?

Pada akhirnya yang mendapat bantuan pun tidak menjadi beban lagi setelah menerima bantuan dari anda yang tidak mengharapkan bantuannya kembali. Percayalah setiap orang yang bertemu dengan anda bukan tidak sengaja melainkan kesengajaan. Jika sudah tidak ada komunikasi lagi, ya selesai layaknya film-film. Karena orang yang didekat anda saat inilah yang anda perlu banyak lakukan kebaikan untuk kehidupan selanjutnya. (**)




Selasa, 23 April 2019

UN BUKAN UNTUK KEPENTINGAN ANAK BANGSA MELAINKAN UNTUK INDIKATOR MUTU


Sampai saat ini UN kerap menjadi perbincangan menarik yang rutin disetiap akhir tahun pelajaran. Apalagi seiring kemajuan teknologi UN diselenggarakan berbasis IT yang disebut UNBK. Namun dalam kesempatan ini yang dibahas bukan tentang petunjuk teknis melainkan kapasitas UN tersebut sampai saat ini masih diselenggarakan.

Mendengar UN pendidik dan peserta didik akan merasa “berbeda” apalagi setiap tahunnya berubah yang mengarah ke UNBK. Kenapa UNBK, tiada lain tiada bukan tentang menjawab pertanyaan mengenai integritas. UN sebelumnya dengan kertas pensil yang dicurigai intergritasnya masih tergolong rendah. Kemudian diupayakan agar SMP dan SMA berbasis komputer, tapi bukan berbasis IT saja namun disertai katagori soal high other thingking (HOT). Tujuannya secara nasional untuk mengetahui kondisi riil pendidikan ditiap tahunnya.

Tindak lanjut dari tujuan tersebut sudah jelas bahwa UN yang rutin diselenggarakan bukan untuk kepentingan anak bangsa. Kepentingan yang dimaksud adalah mempengaruhi kelulusan peserta didik ke jenjang selanjutnya.

Kenyataanya saat ini, UN sudah tidak memiliki porsi dalam kelulusan peserta didik kejenjang selanjutnya. UN telah punya kapasitas tersendiri hanya sebagai indikator mutu pendidikan dengan integritas tinggi. Sejauh ini entah rata-rata UN meningkat, menurun dan rendah itu juga seratus persen siswa lulus.

Terus apa indikator kelulusan peserta didik kalau UN tidak dilibatkan, sudah jelas satuan pendidikan masing-masing yang memiliki wewenang.  Menindak lanjuti hal tersebut satuan pendidikan harus memiliki kredibilitas yang independen dan bertanggung jawab penuh dalam segala keputusan. Karena yang paling tahu kualitas dan kuantitas secara riil tentang peserta didik adalah Bapak/Ibu guru.

Sehingga diupayakan kehadiran UN tidak mengganggu mental peserta didik dan ketika melaksanakan UN peserta benar-benar dalam keadaan tenang tanpa ada tekanan. Pelaksanaannya tetap atas dasar terkondisi, orientasi sengguh-sungguh dan sesuai daya serap yang dimilikinya.

Bila perlu untuk menyikapi cakupan materi mata pelajaran yang sangat luas diberikan rentang waktu tertentu dari UN mapel satu dengan mapel yang lainnya.  Bisa juga memberikan pilihan setiap satuan pendidikan terhadap Cakupan Materi Minimal (CMM) layaknya KKM sebagai tolak ukur mandiri misalnya CMM 50%, 75%, atau 100%. Karena bila diukur 100% secara nasional sah-sah saja, namun perlu menjadi pertimbangan apakah satuan pendidikan tersebut sudah standar nasional. Kalau sudah baru relevan untuk diujikan secara nasional. Mengenai hal tersebut bisa disesuaikan berdasarkan rapor mutu satuan pendidikan masing-masing.

Hasil riil dilapangan akan selalu rendah, dan itu dijadikan evaluasi menyeluruh sudah jelas itu keliru. Sebab dengan situasi kondisi mutu dilapangan kurang dan hasil UN rendah, sesungguhnya hal tersebut sesuai dan relevan. Tapi jika situasi kondisi telah standar nasional dan hasil UN rendah, disini baru perlu dipertanyakan. Ibarat alat ukur tidak sesuai dengan objek yang diukur yang hasilnya pasti keliru.  

Lebih baik satuan pendidikan diberikan kepercayaan secara mandiri dalam memutuskan cakupan materi. Misalnya dengan memilih 75%, untuk rata-rata berkisaran 65-70. Biarlah yang standar nasional memilih cakupan materi 100%. Bila perlu secara nasional menentukan cakupan materi tersebut yang berkaca dari rapor mutu satuan pendidikan. Setelah itu ada feedback yang disarankan untuk perbaikan yang terawasi serta dievaluasi hingga meningkat, baru dipertimbangkan kembali tentang cakupan atau instrumen evaluasinya. Sederhananya jika salah satu satuan pendidikan yang rapor mutu rendah pada standar pendidik, lembaga pendidikan nasional bisa lewat daerah harus fokuskan mampu menindaklanjuti hal tersebut harapannya sampai tuntas. Setelah itu lihat kembali jika meningkat berarti sesuai. Jika belum juga terjadi peningkatan ada faktor lain yang signifikan mempengaruhi hasil UN tersebut.

Perlu diketahui bahwa naik, turun, atau rendahnya rata-rata UN itu hal yang wajar karena hal tersebut dipengaruhi oleh SDM, baik SDM dilembaga pendidikan, pendidik, ataupun peserta didik. Sedangkan lembaga pendidikan serta pendidik bisa tetap atau berubah dan alat ukurnya berupa soal HOT yang tetap sedangkan peserta didik yang pasti “berubah-ubah”. Karena tidak ada yang menjamin semakin berkembangnya zaman SDM manusia disegi pengetahuan terus meningkat walaupun lahir dizaman semakin canggih dan serba digitalisasi. Karena SDM itu tercipta bukan tercetak begitu saja. Selain itu variabel kontrol dalam pendidikan terhadap peserta didik cenderung tidak jelas terkecuali satuan pendidikan yang melakukan boarding school.

Satuan pendidikan tidak pantas malu ketika rata-rata UN sekolahnya rendah atau menurun. Karena data riil tersebut sebagai salah satu hasil nyata rapor mutu yang menjadi indikator mutu untuk acuan perbaikan dan tetap menjadi tanggung jawab bersama, bukan serta merta saling menyalahkan atau sepenuhnya menjadi beban pendidik saja.

Sesungguhnya dalam pendidikan bukan tentang transfer ilmu, membagi ilmu dan hasil UN meningkat tapi ada yang dikembangkan pada pribadi peserta didik. Jika melihat hasil UN sebagai evaluasi keberhasilan pendidikan anda separuh benar, dan masuk di dalamnya serta mengevaluasi “perkembangan” yang nampak, anda menemukan benar separuhnya lagi. Karena sekolah bukan tempat penyetaraan melainkan meningkatkan dari satu, dua, tiga, dan seterusnya disetiap pribadi anak yang berbeda-beda. (**)

Senin, 22 April 2019

PENDIDIKAN BERMAKNA




Harapan sebuah lembaga pendidikan adalah menciptakan generasi yang berpengetahuan, terampil, dan berakhlak mulia. Mencetak generasi tersebut tidak cukup dengan kebijakan, kompetensi pendidik, sarana prasarana, dan lingkungan. Hal yang terpenting bahkan belum disentuh oleh lembaga pendidikan yakni memaknai pendidikan. Adakah yang sesungguhnya telah memaknai sebuah pendidikan? Pembuat kebijakan terus membuat kebijakan, pendidik terus mengajar berdasarkan kurikulum, sarana prasarana terus dikembangkan, lingkungan masih belum “terkontrol”. Sehingga dikatakan belum memaknai pendidikan itu sendiri. Ketika memaknai pendidikan ini ada, maka kemungkinan akan ada perubahan besar. Jika belum memaknai maka akan selalu adanya saling menyalahkan, baik guru kah, peserta didik kah, pemerintah kah, lingkungan kah, kurikulum kah, atau bahkan bisa semuanya.

Pemerintah telah menetapkan standar kelulusan pendidikan setiap jenjang, tapi sudahkah dimaknai dengan baik, bagi tokoh-tokoh yang membuat dan penyelenggara pendidik? Untuk isi lampiran tentang standar kelulusan pendidikan silakan pembaca bisa cek digoogle. Selanjutnya coba kaitkan dengan pembelajaran langsung di sekolah. Mampukah materi dalam setiap mata pelajaran dikorelasikan dengan aspek dari standar kelulusan tersebut. Artinya dari materi-materi yang dibelajarkan, siswa memiliki kemampuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Jangan-jangan pendidik masih asing dengan kata-kata tersebut. Terus sejauh ini pendidikan masih dimana? Karena dalam pembelajaran peserta didik dan guru cenderung berorientasi dengan penguasaan materi. Di luar penguasaan materi perlu diperhatikan bahwa setiap pembelajaran bukan untuk cetak nilai A setiap mata pelajaran tetapi tentang melatih dan mengimplementasikan berpikir kritis, kreatif, kolaborasi, dan kemampuan berkomunikasi. Pendidik cenderung belum mengetahui bagaimana materi A misalnya untuk mencapai aspek standar kelulusan. Mengetahui hal tersebut bagaimana teknik penilaian selama ini yang masih berpedoman pada penguasaan materi semata belum memperhatikan aspek standar kelulusan terhadap peserta didik. Artinya nilai A pada mapel tertentu belum memastikan aspek kelulusan yang dicapainya. Sesungguhnya dengan disajikan materi dalam kurikulum tersebut mampu mengembangkan aspek dari standar kelulusan. Sehingga kelirunya dalam pendidikan adalah bukan tentang kompetensi guru, peserta didik, sarana, melainkan belumnya menerapkan dan memperhatikan standar kelulusan ketika meluluskan peserta didik kejenjang berikutnya.

Tentang kelulusan pemahaman bahwa tidak naik kelas/lulus dianggap gagal. Gagal disini sifatnya sangat luas, bisa pemimpin, sekolah, guru, peserta didik sendiri, atau orang tua. Padahal itu wajar artinya peserta didik tersebut perlu waktu lebih lama untuk berproses mencapai standar kelulusan yang telah ditetapkan. Karena lulus yang terbaik itu adalah lulus pada waktu yang tepat bukan lulus tepat pada waktunya. Mencapai hal tersebut harus diberikan kredibilitas sepenuhnya dan mutlak serta independen oleh lembaga satuan pendidikan yaitu Bapak/Ibu guru yang terhormat. Jika itu belum terjadi maka tidak ada kata standar dalam pendidikan begitu juga evaluasinya. Sekolah akan berhadapan dengan banyak non-standar termasuk pendapatan guru honor. Logikanya sekolah sebagai cetakan dan yang datang beranekaragam bahan baku yaitu peserta didik, terus sekolah dituntut untuk mencetak yang baik, itu akal sehat dari mana? Siapapun yang telah menyandang profesional dalam profesinya jika berhadapan dengan non-standar pasti juga tidak akan bisa berbuat banyak. Fasilitas sudah diberikan dan dana pendidikan sangat tinggi masih belum mampu meningkatkan pendidikan nasional. Jelas karena pendidikan banyak diluar jalur dan non-standar. Maka dari itu lembaga pendidikan harus benar-benar memiliki kredibilitas sehingga jelas berapa siswa standar SD kelas 4 dan berapa siswa standar SMP kelas 7. Jangan-jangan siswanya kelas 8 SMP tapi standar kelas 4 SD, bagaimana nasib guru SMP. Kalau salahkan guru SD tidak pas juga, salahkan siswa juga tidak pas, salahkan guru SMP juga tidak pas, terus siapa yang menerima  ini, kembali lagi tentang standar kelulusan dan memaknai pendidikan.

Guru yang mengajar dijenjang berikutnya akan banyak berpendapat entah materi terlalu sulit diserap siswa, dikatakan gurunya kurang persiapan, gurunya kurang media, gurunya kurang menguasai pedagogik. Semua itu sah-sah saja, hal tersebut benar adanya apalagi objek didik dalam katagori standar. Kemudian sampai berpandangan bahwa kurikulum tidak nyambung dengan di lapangan dan banyak hal lagi. Kembali jika pendidikan tidak dimaknai yang akan terjadi terus seperti ini. Pada akhirnya yang menjadi korban jelas objek didik. Mereka juga sesungguh berada pada situasi non-standar bagi yang belum sesuai dengan jenjangnya. Karena belum memiliki kemampuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif yang sesuai di kelulusan SD sudah berada di SMP. Dampaknya akan muncul suasana tidak cocok, bosan, malas, dan bahkan apatis terhadap sekolahnya. (**)

Senin, 08 April 2019

PEMBACA VERSUS BACAAN



Membaca merupakan salah satu jalan memperoleh informasi. Tapi tidak banyak orang yang benar-benar memahami hal tersebut. Maka dari itu pemerintah lewat pendidikan mengupayakan agar sekolah memiliki culture membaca. Kemudian di sekolah guru berjumpa dengan peserta didik yang membaca dengan baik (lancar membaca) namun belum optimal dan membudaya.

Perlu diketahui bahwa membaca bukan serta merta menghubungkan huruf, kata, dan kalimat semata. Melainkan mampu membayangkan dari apa yang telah dibaca dan itu perlu latihan. Beberapa peristiwa nyata di sekolah, peserta didik diarahkan atau diberikan jadwal membaca. Menyikapi hal tersebut peserta didik membawa buku dan memang sepintas terlihat antusias. Namun setelah 5 menit sampai 10 menit peserta didik sebagaian besar mulai membuka cerita-ceritanya dan asyik mengobrol. Terus membacanya bagaimana? Guru melihat situasi ini akan mengambil tidakan mendekati peserta didik tersebut dan mengarahkan untuk berhenti mengobrol dan kembali fokus membaca. Melalui hal tersebut peserta didik kembali membaca. Terus apakah hal yang dilakukan guru tersebut sudah benar?

Kalau mengarahkan suasana membaca saja jelas benar. Tapi sesungguhnya bukan hanya mengarahkan melainkan mengarahkan kemudian mengembangkan dan meningkatkan. Tindakan guru tersebut baru mengarahkan saja sehingga sudah jelas kualitas membaca tetap rendah. Peristiwa ini di luar kemampuan peserta didik yang dileksia. Peserta didik telah lancar membaca saja cenderung “alergi” terhadap kegiatan literasi. Hendaknya guru harus mampu memperbaiki hal tersebut dengan solusi yang relevan. Apa yang salah padahal mereka lancar membaca? Harus mulai darimana untuk memperbaiki hal ini? Itu pertanyaan yang akan muncul.

Tidak dipungkiri berapa sih guru-guru itu juga kenal buku, penulis, dan literasi pada waktu-waktu senggangnya? Jawab dalam hati masing-masing sajalah Bapak/Ibu guru! Bagi yang merasa belum, ayo membaca lagi lagi dan lagi. Menjadi masalah dalam peristiwa ini adalah ketidak cocokan antara pembaca dengan bacaan. Contoh: ketika di sekolah guru mengarahkan kegiatan literasi, tanpa berpikir panjang peserta didik mengambil salah satu buku yang dibawa pada saat itu (masih apa yang diinginkan waktu itu belum terhadap apa yang cocok). Bagi yang tidak membawa berupaya meminjam di perpustakaan dalam waktu singkat pula dan fatalnya lagi menyuruh salah satu temannya untuk mengambilkan buku apapun terserah. Hal yang terjadi dibenak siswa adalah, ya biar ada yang saya baca. Akhirnya baru baca lima menit, sepuluh menit sudah gelisah dan terlihat kegiatan tersebut membosankan. Apalagi diarahkan peserta didik baca buku tertentu jelas tidak akan menarik, karena antara bacaan dengan peserta didik belum cocok.

Disinilah peran guru mengarahkan, mengembangkan, dan meningkatkan. Apakah pendidik sudah mengarahkan peserta didik tentang jenis bacaan yang cocok bagi pribadi setiap anak? Kalau sudah berapa persentase peserta didik memperoleh bacaan yang cocok? Kalau belum ayo ajak peserta didik mencari buku yang cocok buat diri mereka dan bantu untuk menemukannya.  Mencari buku yang cocok tidak mudah dan perlu waktu berhari-hari, bahkan mingguan. Idealnya bagaimana kita bisa nyambung kalau sudah tidak cocok? (apapun itu). Yang timbul malahan bosan, bosan, dan membosankan.

Tanda buku tidak cocok adalah setelah dibaca lima menit sudah bosan. Menyikapi hal tersebut segeralah beralih kebuku lain. Begitu seterusnya hingga benar-benar menemukannya, untuk pendidikan ditingkat dasar jelas perlu arahan dan bantuan dari guru. Setelah itu dilakukan, baru menuju tahap mengembangkan membaca. Mengembangkan ini di dalamnya memuat tentang membaca bermakna yaitu sebelum membaca tentukan tujuan atau yang ingin dicapai secara realistis. Realistis yang dimaksud adalah tujuan yang mudah dicapai oleh pembaca seperti ketika membaca koran tentang sports “untuk mengetahui penyebab kekalahan klub Real Madrid dengan klub Abc”. Jika itu sudah jelas barulah mulai untuk membaca. Setelah membaca satu paragraf upayakan untuk berhenti sejenak untuk membayangkan maksud paragraf tersebut. Jika dibaca sekali pembaca sudah jelas tentang maksudnya, silakan lanjutkan ke paragraf berikutnya. Jika belum mampu membayangkan, hindari untuk melanjutkan ke paragraf berikutnya. Jika tetap dilanjutkan hasilnya malahan fatal dan tanpa arah sehingga jelas akan menjadi sulit mengerti akan bacaan tersebut. Maka dari itu pembaca harus rela untuk mengulang peragraf tersebut. Sering latihan pengulangan tersebut akan pudar seiring waktu yang anda lewati.

Mengarahkan memperoleh yang cocok, mengembangkan dengan menentukan tujuan terlebih dahulu dan membayangkan disetiap akhir paragraf sehingga meningkatlah literat dan tanpa disadari akan terbentuk budaya di sekolah. Membaca bukan menjadi “alergi” lagi melainkan rasa penasaran dan ketagihan. Karena pembaca dan bacaan tidak boleh berlawanan maka dari itu mari jalin hubungan melalui kecocokan antara pembaca dan bacaan.()*